Syarat diperbolehkannya membaca Al-quran ada 3 macam:

1. صحة السند (Shihhatus Sanad) artinya harus pernah mengaji berhadapan langsung (مشافهة ) dengan guru yang mempunyai sanad secara mutawatir sampai dengan Nabi Muhammad SAW.

2. Harus sesuai dengan aturan bacaan bahasa Arab (Ilmu Nahwu), walaupun Do’if.

3. Al-Quran yang dibaca harus tertulis sesuai dengan aturan-aturan Khot Usmany, dan atau yang mirip dengan Khot Usmany.

Apabila salah satu dari tiga syarat tersebut tidak terpenuhi maka Qiroatnya digolongkan dalam Qiroat Syaddzah

(شاذة )

 

Catatan:

Syarat yang pertama :

صحة السند

(Shihhatus Sanad) dapat pula diartikan bahwa orang diperbolehkan membaca-apalagi mengajar Al-Quran harus pernah atau sudah berguru terlebih dahulu dan sesuai dengan bacaan gurunya.

Cara berguru Al-Quran ada tiga macam, yaitu:

a. Guru membaca murid mendengarkan, kemudian murid menirukan bacaan guru. Cara ini juga yang pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW ketika mengajar Sahabat Ubay bin Ka’ab.

b. Murid membaca guru mendengarkan.

c. Guru membaca murid mendengarkan.

Pentingnya Musyafahah dalam belajar sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Khaldun dalam al-Muqaddimah mengatakan:

ولقاء المشيخة مزيد كمال في التعليم والسبب في ذلك أن البشر يأخذون معارفهم وأخلاقهم وما ينتحلونه به من المذاهب والفضائل: تارة علماً وتعليماً وإلقاءً، وتارة محاكاة وتلقيناً بالمباشرة. إلا أن حصول الملكات عن المباشرة والتلقين أشد استحكاماً وأقوى رسوخاً

“Bertemu langsung dengan guru menambah kesempurnaan di dalam pengajaran. Sebabnya adalah bahwa manusia mengambil pengetahuan, akhlak dan berbagai macam kecenderungan berupa mazhab dan keutamaan. Adakalanya dengan cara mengetahui, mengajar dan menyampaikan; adakalanya menceritakan dan menuntun secara langsung. Namun, hasil kecakapan (ilmu) dari metode secara langsung dan dituntun lebih melekat dan menancap” (Ibnu Khaldun, al-Muqaddimah, hal. 348).

Al-Imam al-Nawawi mengatakan:

قالوا ولا يأخذ العلم إلا ممن كملت أهليته وظهرت ديانته وتحققت معرفته واشتهرت صيانته وسيادته فقد قال ابن سيرين ومالك وخلائق من السلف: هذا العلم دين فانظروا عمن تأخذون دينكم

“Ulama mengatakan, tidak boleh mengambil ilmu kecuali dari sosok yang sempurna keahliannya, jelas agamanya, valid pengetahuannya, dan masyhur keterjagaan dan kemuliannya. Berkata Ibnu Sirin, Malik dan beberapa ulama salaf; ilmu ini agama, maka lihatlah dari mana engkau mengambil agama kalian”. (al-Imam al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, juz 1, hal. 66).

"خُذُوا الْقُرْآنَ مِنْ أَرْبَعَةٍ مِنِ ابْنِ مَسْعُوْدٍ وَأُبَيٍّ ابْنِ كَعْبٍ وَمُعَاذٍ بْنِ جَبَلٍ وَسَالِمٍ مَوْلَى أَبِيْ حُذَيْفَةَ" رواه الترمذي والحاكم عن ابن عمرو بن العاص رضي الله عنهما

"Ambillah kalian (bergurulah) Al-Qur'an kepada empat orang : Ibnu Mas'ud, Ubay bin Ka'ab, Mu'adz bin Jabal, dan Salim budak Abi Hudzaifah"

Hadits ini menjelaskan cara membaca Al-Qur'an, yaitu harus berguru kepada seorang guru yang mempunyai sanad guru hingga naik ke atas bersambung kepada salah satu sahabat empat yaitu 'Abdulloh bin Mas'ud, Ubay bin Ka'ab, Mu'adz bin Jabal, serta Salim. Sebab membaca Al-Qur'an hanya dengan berdasar kitab tajwaid itu belum mencukupi, sebab kitab tajwid sifatnya hanya sebagai pengantar saja.

Sedangkan Rosululloh menunjuk sahabat empat ini mungkin karena ilmu qirohnya melebihi para sahabat yang lain serta belajarnya Al-Qur’an dari Rosululloh secara langsung tanpa ada perantara.

 

oleh : KH. Khoirul Mustamir Kholid ( Pengampu Program Tahfidz MA-MDW Pondok Pesantren Al Muayyad Surakarta )

Terakhir Diperbaharui ( Jumat, 10 September 2021 06:15 )