Laptop Untuk Sang Nabi
Tengah malam. Lima belas hari menjelang malam kelahiran Sang Nabi.
Kang Sodrun masih belum tertidur. Sepulang tahlilan di rumah tetangga sebelah ia sengaja minum segelas besar kopi pahit untuk menjaga kedua matanya agar tetap melek. Begitulah kebiasaannya bila ingin melakukan banyak hal di malam hari.
Kegiatan siang harinya yang selalu dimulai saat subuh sampai menjelang maghrib menjadikan badannya sering kecapekan dan matanya selalu ingin terpejam tiap kali masuk waktu maghrib. Tapi Kang Sodrun tak bisa menurutinya karena selepas maghrib dan isya masih ada tugas rutin yang mesti ia lakukan hingga menjelang pukul sembilan. Bila setelahnya masih ada pekerjaan lain yang mesti diselesaikan, maka kopi pahit lah satu-satunya cara Kang Sodrun menopang matanya agar tak terpejam sebelum tengah malam. Bahkan kalau perlu hingga subuh datang.
Sampai dini hari ini kopi pahit itu benar-benar mampu menopang matanya tetap melek.
Di tangannya tergenggam seikat lembaran uang berwarna biru tajam. Ia baru saja menghitungnya. Cukup untuk membeli sebuah laptop mini. Hatinya berbisik. Bibirnya tersenyum kecil. Angannya membayang.
Sudah sejak lama memang Kang Sodrun menginginkan membeli sebuah laptop. Baginya barang elektronik yang sudah memasyarakat itu perlu dimiliki untuk menunjang aktifitas menulisnya. Semestinya di rumah seperangkat computer telah ia miliki. Itu ia beli sejak masih sekolah dulu tiga belas tahun yang lalu. Keinginannya memiliki laptop karena computer yang ada dirasa sudah cukup tua. Kinerjanya sudah melambat, monitornya mulai berasa tajam di mata, beberapa hardwarenya sudah bolak-balik diganti dan sudah tak ada lagi di pasaran karena keluaran lama.
Ia juga berharap dengan laptop itu bisa membantu mempermudah pekerjaan Yu Siti, istrinya. Yu Siti yang bekerja sebagai guru di sebuah sekolah menengah itu seringkali bercerita tentang teman-temannya yang sebagian sudah punya laptop dan dengan mudah mengerjakan tugas-tugas mereka di sekolah saat kosong jam mengajar. Apalagi saat ini ia ditunjuk sebagai salah satu guru yang ikut mengampu kelas unggulan. Atasannya sering kali menyindir agar guru yang mengajar kelas unggulan memiliki laptop.
Maka untuk mewujudkan keinginannya itu Kang Sodrun mulai menabung sejak beberapa bulan lalu. Ia tak mau seperti kebanyakan temannya yang lebih suka potong kompas menggunakan uang pinjaman koperasi atau bank untuk memenuhi kebutuhannya. Baginya menabung lebih baik dari pada berhutang, kecuali kalau sudah kepepet. Bagi dirinya menabung memberi pelajaran untuk prihatin dan bersabar dalam memenuhi suatu kebutuhan.
Dua bulan lalu, menjelang lebaran haji, mestinya uang yang dibutuhkan telah terkumpul. Ia sudah berkeliling survey lapangan untuk mengetahui harga di pasaran dan merek apa yang mau dipilih. Tinggal menentukan kapan ia mau membelinya. Tapi kenyataan berbicara lain. Saat malam takbiran lebaran haji tiba hatinya terbagi menjadi dua, saling berbisik.
“Tegakah kau melewati lebaran haji tahun ini begitu saja tanpa seekor kambing pun yang kau persembahkan pada Tuhanmu?”
“Mengapa tidak? Bukankah berkurban hanya sunnah saja dan dapat dilakukan setiap tahun, sepanjang hidup? Mengapa harus sekarang”
“Betul memang. Tapi ini hari raya kurban dan kau melewatinya dalam keadaan hidup dengan uang di genggaman tangan yang cukup untuk menbeli seekor kambing.”
“Tapi apa harus tahun ini?”
“Lalu kapan? Tahun depan yang umurmu belum tentu sampai besok pagi? Kalaupun umur sampai tahun depan, dapatkah kau pastikan saat itu kau memiliki cukup uang untuk membeli hewan kurban?”
“Tapi uang itu aku kumpulkan untuk membeli laptop.”
“Dengan mengorbankan perintah Tuhan dan Rasulmu? Lihatlah tetangga belakang rumahmu itu. Ia hanya seorang pedagang kecil penjual sayuran. Kau bisa dengan mudah mengira-ngira berapa pendapatannya. Malam ini kau lihat sendiri ia dengan tulus dan penuh kegembiraan menggandeng seekor kambing yang cukup besar untuk diserahkan ke panitia kurban di mushalla, demi keridloan Tuhannya. Tidakkah kau malu pada Tuhanmu? Kepadamu Ia berikan pendapatan yang jauh lebih banyak dan kehidupan yang jauh lebih layak dari tetanggamu itu. Tapi saat Tuhanmu meminta untuk sekali saja dalam setahun berkurban untuk-Nya, kau masih enggan dan lebih memilih menuruti kemauan nafsumu!”
Kang Sodrun tersadar. Malam itu juga, usai shalat maghrib di musholla ia segera meminta istrinya untuk bersiap-siap ikut membeli kambing di tempat langganannya. Ia bawa semua uang tabungannya. Dan tanpa banyak menawar ia dapatkan seekor kambing yang lumayan besar seharga jumlah uang yang ia kumpulkan. Dalam hatinya ia berbisik, “Gusti, aku pilih keridloan-Mu.” Dalam benaknya, bila Allah ridlo apapun akan diberikan pada sang hamba.
Sejak saat itu Kang Sodrun memulai kembali mengumpulkan uang untuk membeli laptop. Ia sangat bersyukur, hingga saat ini uang itu telah terkumpul dan kiranya cukup untuk sebuah laptop mini. Namun malam ini kegelisahan menyuntuki pikirannya.
Lima belas hari lagi adalah malam kelahiran Sang Nabi. Sebagaimana tradisi di kampungnya yang juga selalu ditanamkan oleh orang tua Kang Sodrun, seperti tahun-tahun sebelumnya, tiap kali malam maulid datang ia dan istrinya selalu berusaha memberikan sedekah berkatan yang dibagi kepada para tetangga dan bagi para pembaca kitab al-barzanji di musholla. Kebiasaan ini ia coba untuk tetap dilestarikan meski dalam bentuk yang paling sederhana sekalipun.
“Kanjeng Nabi itu makhluk paling istimewa, Drun.” Begitu orang tuanya mengajari. “Gusti Allah tak akan pernah mau menciptakan alam semesta ini kalau tidak ada Kanjeng Nabi. Kehadirannya merupakan nikmat dan rahmat Allah yang terbesar, teragung, dan termulia, bukan saja bagi umat manusia, tapi bagi seisi jagat raya. Istilah qur’annya rahmatan lil ‘alamin. Maka hari kelahirannya paling layak dirayakan, paling layak diagungkan. Sudah semestinya kita sebagai umatnya merayakannya sebagai bagian rasa cinta kepadanya dan rasa syukur kepada Gusti Allah. Salah satu caranya dengan bersedekah di hari kelahirannya.”
Malam ini, saat Kang Sodrun menghitung jumlah tabungannya yang dipersiapkan untuk membeli laptop, ia teringat bahwa setengah bulan lagi malam maulid. Ia butuh sejumlah dana untuk menyambutnya. Ia butuh berbelanja untuk memberikan hadiah bagi para tetangga atas nama Kanjeng Nabi. Dan kini di tangannya telah tergenggam seikat uang. Hatinya menjadi bimbang. Akankah untuk yang kedua kalinya ia undur lagi keinginannya untuk memiliki laptop, demi menghormat Sang Nabi di hari kelahirannya? Atau biarlah maulid tahun ini berlalu begitu saja tanpa hadiah bagi umat Sang Nabi. Toh masih ada cara lain untuk merayakan dan mensyukurinya.
Beberapa lama Kang Sodrun termenung. Ia menimbang. Kegelisahannya justru membangkitkan kembali memorinya pada maulid setahun lalu. Saat itu ia dan istrinya bingung ketika malam maulid makin dekat namun tak ada dana untuk menyambutnya. Sementara keinginan untuk tetap melestarikan ajaran orang tua, untuk menyatakan rasa cinta pada Sang Nabi, begitu besar. Maka ia dan istrinya sepakat untuk tetap merayakan malam maulid meski hanya dengan berkatan sebungkus tape singkong.
“Kalau bisa, Drun, usahakan semampumu untuk memberi sedekah di malam maulid. Semampunya saja. Karena yang sampai kepada Gusti Allah dan Rasul-Nya bukan uang kamu, bukan hadiah berkatan kamu, tapi takwa dan cintamu pada Sang Nabi.” Begitu tutur orang tuanya dulu.
Tapi ternyata Allah menakdirkan lain. Sehari sebelum malam mulia itu datang Kang Sodrun mendapat cukup dana. Maka jadilah keduanya merayakannya dengan berkatan yang membuat para tetangga tersenyum gembira menerimanya. Bukan hanya sekedar tape singkong seperti yang direncanakan.
Mengingat maulid tahun lalu itu kini Kang Sodrun merasa lega. Bibirnya mulai mengembang. Berat nafasnya ia hembus kuat-kuat, membuang sumbatan yang menyuntuki pikirannya. Dalam hatinya ia berbisik; apapun yang akan terjadi akan tetap kupersembahkan hadiah bagi Sang Nabi di hari ulang tahunnya. Semampuku akan kuusahakan membuat Sang Nabi tersenyum bahagia melihat sebagian umatnya dibahagiakan di hari kelahirannya. Insya Allah.
Tegal, menjelang Maulid 1432 H