Al-Imam 'Ali bin Abi Thalib radhiyaahu 'anhu berkata tentang firman Allaah Ta'ala:

*وَرَتِّلِ ٱلۡقُرۡءَانَ تَرۡتِیلًا*

"Dan tartilkanlah Al-Quran se-tartil-tartilnya..."

*الترتيل هو تجويد الحروف و معرفة الوقوف*

"Tartil artinya mentajwidkan huruf dan memahami kaidah waqaf."

Tajwidul huruf maknanya membaguskan pengucapan huruf demi huruf di dalam Al-Quran, sesuai dengan makhrajnya, memberikan haknya berupa sifat-sifatnya dan mustahaknya, merealisasikan hukum-hukum tajwid dengan sempurna tanpa berlebihan dan lembut pengucapannya tanpa asal-asalan.

 

Pada dasarnya membaca Al-Qur’an itu harus secara tartil sebagaimana perintah Al-Qur’an.

Sayyidina Ali bin Abi Thalib mengatakan bahwa tartil adalah “tajwidul huruf, wa ma’rifatul wuquf (mengindahkan bacaan huruf, dan mengetahui tentang hukum waqaf-nya.”

“Tartil itu penting karena berperan besar ke makna bacaan.

Keliru membaca Al-Qur’an itu, bisa karena sebab makharijul huruf-nya tidak terpenuhi, bacaan pendek yang dibaca panjang atau sebaliknya, menghilangkan tadydid, juga cara berhenti memenggal bacaan ayat dan kalimat yang tidak pas,”

“Contoh bacaan yang kurang tepat makhraj-nya: semisal kita membaca di Surat Al Ghasyiyah,

*أَفَلَا يَنْظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ*

“Tidakkah mereka melihat kepada Unta, bagaimana ia diciptakan?”.

Padahal ayat ini sangat hebat, yaitu perintah kepada manusia untuk memerhatikan unta yang diciptakan begitu hebat sebagai hewan yang tangguh di padang pasir.

Tapi kalau membacanya seperti ini:

*أَفَلَا يَنْظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ حُلِقَتْ*

Bacaan kha’ pada khuliqat menjadi ha’, karena kurang tepat cara bacanya, bisa bermakna begini:

“Tidakkah mereka melihat kepada Unta, bagaimana ia dicukur?”

Contoh bacaan pendek yang menjadi panjang, yang perlu diperhatikan. Seperti dalam lafal

*ألله أكبر*

huruf ba’ dibaca pendek, artinya Allah Maha Besar.

Kalau dibaca panjang, maka menjadi

*ألله أكبار*

artinya ‘Allah adalah beberapa gendang’.

*أكبار*

adalah bentuk kata banyak dari

*كَبَرٌ*

yang artinya gendang.

Bacaan panjang dan pendek ini perlu diperhatikan saat membaca Al-Qur’an.

Contoh menghilangkan tadydid seperti pada ayat

*إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ*

Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.

Jika tasydid pada dua lafadz

*إياك*

dihilangkan maka akan terjadi kesalahan fatal pada ma'na.

Dimana lafadz

*إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ*

dengan tasydid berma'na:

"Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan"

Berhubung kedua lafadz

*إياك*

tidak ditasydid maka artinya berubah menjadi:

"Hanya kepada CAHAYA aku menyembah, dan hanya kepada CAHAYA aku meminta pertolongan"

Sehingga jika penghilangan itu disengaja maka akan menjadikan KUFUR (Na'udzu billahi).

“Lalu yang terakhir, mengapa memahami letak berhenti dan memulai bacaan, al waqf wal ibtida’ itu penting?

Ini seperti ketika kita keliru memenggal kalimat.

Seperti contoh: ‘Tentara hijau bajunya membawa senapan’.

Kita bisa tepat memahami kalimat ini jika tepat pemenggalanny:

‘Tentara/ hijau bajunya / membawa senapan’.

Jika keliru memenggal kalimat ‘Tentara hijau/ bajunya membawa senapan’, jadi sulit dipahami kalimat ini.

Nah, begitu pun dalam membaca Al-Qur’an.

Hal ini untuk menjaga makna Al-Qur’an,”.

*اللَّهُمَّ حَبِّبْنَا إِلَى الْقُرْآنِ وَحَبِّبِ الْقُرْآنَ إِلَيْنَا*

*اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ الْفَاتِحِ لِمَا أُغْلِقَ وَالْخَاتِمِ لِمَا سَبَقَ نَاصِرِ الْحَقِّ بِالْحَقِّ وَالْهَادِيْ إِلَى صِرَاطِكَ الْمُسْتَقِيْمِ وَعَلَى اٰلِهِ حَقَّ قَدْرِهِ وَمِقْدَارِهِ الْعَظِيْمِ*

 

oleh : KH. Khoirul Mustamir Kholid ( Pengampu Program Tahfidz MA-MDW Pondok Pesantren Al Muayyad Surakarta )