Waktuku disini sudah memasuki tahun kelima. Aku pertama kali masuk ke pesantren ini hanyalah seorang anak kecil yang masih ingusan dan tak tahu apa-apa. Aku berasal dari kaum orang-orang tak punya, untuk sekolahpun ayahku hanya mengandalkan sawah dan kebun yang hanya menghasilkan beberapa peser uang setiap tahunnya. Ayahku memberi nama padaku “Arif Billah”, yang diharapkan supaya aku menjadi orang yang arif dan bisa menjadi ma’rifat billah, tapi karena aku bertingkah laku seperti orang gila banyak temanku di yayasan ini memanggilku “majnun” yang berarti orang gila. Sebetulnya aku tidak gila, sebenarnya aku bertingkah laku seperti orang gila karena memang di dunia ini semua sudah gila, tidak ada yang waras, semua sudah gila dan tergila-gila akan dunia yang hanya menyiratkan kesenangan sesaat.

Yayasan lembaga pendidikan yang aku huni bernama “As Syafii”. Lembaga ini seperti lembaga yang pengajarannya seperti pondok pesantren modern. Aku sekolah di SMA As Syafii. Disini laki-laki dan perempuan dibedakan tapi saat pelajaran kami dikumpulkan dan hanya disekat dengan satir atau pembatas. Di saat usiaku kali ini yang memasuki usia ke 17 timbul rasa saling menyukai dengan lawan jenis. Tapi apa mau dikata, peraturan-peraturan anti pacaran yang selalu menghantui setiap orang yang ingin bercinta membuatku takut untuk menjalin hubungan dengan cewek manapun.
Dialah Lathifah, seorang gadis cantik dari keluarga terpandang dan kaya di kota asalnya. Perilaku dan tutur katanya lembut bagai namanya, dia menjadi primadona di dalam ruang kelasku maupun seisi sekolah. Banyak laki-laki yang ingin berkasih dengannya, tapi dia menolak.

Tak beda dengan laki-laki yang lain, akupun sama menaruh hati padanya, tapi aku tak berani untuk mengatakannya, aku menyadari bahwa aku ini adalah anak seorang yang tak punya, aku tak punya apa-apa untuk diberikan padanya. Aku dan Lathifah satu kelas dalam program IPA. Dia juga salah satu murid yang dibanggakan di kelas kami. Diam-diam Lathifah memberikan inspirasi bagiku untuk selalu mengejar dalam hal pelajaran.

Suatu ketika kami duduk bersebelahan dengan bersekat dengan satir. Kami berdua saling berbincang dan akhirnya kamipun menjadi akrab. Aku mendengar selentingan bahwa Lathifah menyukaiku. Saat Bel pulang sekolah berbunyi memanggil Lathifah untuk pulang terakhir.

“Ada apa, arif ? ” tanya Lathifah saat semua teman sudah pulang dan tinggallah kami berdua dalam kelas.
“Begini, Mmmm. apa benar kau suka padaku ?” kataku dengan terbata-bata saat mengucapkan padanya.
“Siapa bilang?”.
“Temen-temenlah”.
“Eee, gimana ya .. ?”

Keadaan membuat kami selalu diliputi dengan perasaan was-was ketika berhubungan dengan adanya peraturan yang seabrek di As-Syafi’i. kata orang peraturan dibuat untuk dilanggar. Tapi apa jadinya kalau yang diatur itu cinta? Selama aku masih bisa membatasi sampai hal-hal yang memang tidak wajar dalam sebuah hubungan lawan jenis, aku tak butuh peraturan di sini.

Ujian Nasional mulai menyita pikiranku. Semua orang berkonsentrasi pada ujian, begitu pula dengan kami. Kami sibuk dengan lembaran-lembaran kertas dengan penuh coretan-coretan latihan yang setiap hari harus kami pelajari. Tak ada waktu luang untuk kami bertemu dan saling mencurahkan rasa hati hingga akhirnya kami mengakhiri perjalan cinta kami dan hanya meneruskan hubungan pertemanan kami yang dulu diakhiri dengan rasa cinta. Aku dan Lathifah masih berhubungan walaupun hanya sebatas teman.

Kelulusan sudah kudapat dan aku kembali lagi kerumah untuk mengabdi pada masyarakat. Kebetulan di belakang rumahku ada ponpes yang bernama Al-Hikmah, aku meneruskan kembali pelajaranku pada Kyai Amin yang mengasuh pondok Al-Hikmah dan menyambi sebagai salah seorang pengajar di pondok pesantren Al-Hikmah. Aku telah meninggalkan kenangan bersama teman-teman yang pernah belajar bersama di Yayasan As-Syafi’i, teman-temanku melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi negeri maupun swasta yang berada di seluruh Indonesia, semua berpencar dan meninggalkan kenangan indah bersama selama waktu tiga tahun terakhir.

Enam tahun telah berlalu setelah perpisahan kelulusan. Kyai Amin telah meninggal dunia dan Almaghfurlah tidak mempunyai seorang putra. Ia meninggalkan istri dan seorang putri yang bernama Hana. Sebelum meninggal Kyai Amin berwasiat untuk menikahkan Ning Hana denganku. Akhirnya Ning Hana dan aku menikah dan sebagai mantu kiai aku ditunjuk para sesepuh pesantren untuk menjadi pengasuh pesantren Al Hikmah.

Selain mengasuh di pesantren aku kadang juga mengisi ceramah di memenuhi undangan. Namaku bukan lagi Arif Billah tetapi orang sering menyebutku sebagai Kyai Ali.
Suatu saat aku mendapat undangan untuk mengisi acara jamuan makan dalam rangka Reunian Yayasan Lembaga Pendidikan As Syafi’i tahun angkatan 1998. Salah satu panitia mendatangi kediamanku. Dia menyebutkan namanya Lathifah. Hatiku bergetar saat ia mengatakan namanya. Wajahnya memang aku sedikit lupa. Kecuali tatapan matanya .

“Neng, kalau boleh saya tahu nama teman anda itu siapa ?”
“Arif Billah, Kyai. Apakah Kyai kenal dengan dia ?”
Hatiku hanya bisa tersenyum dan aku menyembunyikan jati diriku. Rupanya Lhatifah benar-benar melupakanku.
“Oh …. anak itu …saya tahu dia memang anak asli sini dan itu adalah rumahnya dulu, tapi dia telah pergi dan pindah entah kemana akupun tak tahu ...?”

Waktu jamuan makan telah tiba, acara berjalan dengan lancar dan hingga akhirnya giliranku untuk tampil dan memberikan mauidloh hasanah kepada teman-temanku yang dulu pernah nyantri di lembaga As-Syafi’i. Aku memberikan ceramah dengan menceritakan saat aku mondok di As-Syafi’i, aku bercerita kemana-mana dan tak lupa aku juga bercerita tentang cerita cintaku saat aku berada di As Syafi’i. Saat dimana diantara satir kami menjalin cinta. Saat-saat indah waktu berjalan bersama Lathifah hingga akhirnya teman-temanku sadar bahwa Arif Billah sang majnun tidak ada diantara mereka. Waktu mauidloh hasanah pun selesai dan aku turun panggung dan menyantap makanan dengan hadirin yang datang.
“Pak Kyai kenapa kisah anda kok sama seperti kisah yang saya alami…?” tanya Lathifah saat aku hendak pulang.
“Masa’… mungkin hanya kebetulan kali ? Nuwun sewu… anak-anak kamar 007 dimana ya …, Anam, Kiki, Ghofur, dan yang lainnya mana ?”
“Lho kok Kyai tahu mereka, kenal dimana ?”
Uppss, keceplosan . “Kemarin saya ketemu di jalan dan bincang-bincang sedikit, eh ternyata mereka anak alumni 007 dan sekamar dengan saya, waktu dulu.”
“Emang kyai alumni tahun berapa ?” tanya Lathifah.
“Saya angkatan 1998”
“Berarti teman kami, tapi seingat saya teman kami tidak ada yang bernama Amin.
Deg…. “Ya coba ingat-ingat dulu, mungkin ada yang namanya Amin, tapi sampeyan lupa. Saya pamitan dulu ya ning, sudah ditunggu istri dirumah.”

Seminggu telah berlalu setelah jamuan makan, dan Lathifah kembali sowan padaku, dia akhirnya tahu kalau sejatinya aku adalah “Arif Billah” yang dulu pernah menjadi kekasihnya, saat berkasih diantara satir dan berjalan tanpa ada rasa malu dengan orang yang berbeda derajat kekayaannya. Dia mengatakan bahwa selama ini dia belum menikah dan masih menunggu Arif Billah yang dulu jadi pujaannya yang ternyata sekarang adalah kyai besar dan memimpin pondok pesantren.

Puteri pengusaha meubel asal Boyolali itu mengatakan bahwa dia siap dinikahi sebagai istri kedua dariku. Apa cinta harus berujung pada pernikahan?. Meski sisa-sisa cinta Lhatifah masih mengendap dihatiku, aku harus bisa membatasi cintaku. Kubiarkan wajahnya membayang diantara satir saat aku mengecup kening Hana, istriku. Aku mencintai Hana.

Majnun; Rabu, 11 November 2009


Biodata

Nama : Ali Rosyad
TTL : Grobogan, 14 Februari 1993
Alamat Rumah : Letjend Suprapto, No .84, Bugel, Godong, Grobogan
Sekolah : SMA Al Muayyad Surakarta
Email & FB : sayap_pangeran@rocketmail.com

 DIMUAT : SOLOPOS, Minggu, 06 Desember 2009