Ditulis oleh al-muayyad
|
Rabu, 29 September 2010 08:44 |
Cerpen Ali Rosyad Mukena yang kujanjikan pada emakku tak dapat aku beriakan kali ini. Waktu seakan mempermainkanku. Kegamangan membujukku. Aku teringat ibuku di kampung yang mungkin menanti kedatanganku di hari lebaran tahun ini. Apakah kerut diwajahnya menandakan kekecewaannya kepadaku?. Kehidupan keras ibu kota menjeratku, memerosokkan ku dalam lubang hitam. Tak ada orang yang dapat menolongku. Aku sendiri yang berusaha untuk lepas dari belenggu ini. Iming – iming kehidupan yang layak dengan bekerja di kota membuat aku ingin merantau meninggalkan kampungku “Aku arep menyang Jakarta mak, aku kepingin kerjo ning kono” “Lha kowe karo sopo ronone le?” “Dengan Karno anaknya Lek Suti. Dia sudah jadi orang sukses sekarang”. “Ojo le., nanti siapa yang akan membantuku mengerjakan sawah peninggalan bapakmu?” “ Pokoknya aku ingin bekerja di Jakarta. Aku ingin seperti Karno yang bisa memperbaiki rumah. Membuat emak bahagia. . Aku ingin kaya mak, ora koyo ngene iki, kere terus, sengsoro terus” *** |
Selengkapnya ...
|
|
Ditulis oleh Nina Mazaya
|
Minggu, 18 Juli 2010 18:12 |
Saat itu, jangan palingkan wajahmu dari wajahku.Aku tak kuat lagi menahan ini semua. Harus menahan rindu yang akhirnya menjadi luka. Ingin segera kuobati atau malah justru kugaruk saja meski nanti kian parah lukanya. Yang ingin kulakukan sekarang pergi ketempatmu dan menjalin kasih yang lama terputus. Tapi, kau tak pernah memberitahu kemana kau akan pergi. Juga tak pernah kudengar lagi kabarmu semenjak kau meninggalkanku. “Jangan pernah berpaling dariku”. Katamu saat itu. Kau pikir aku sanggup menahan rinduku ini? Tidak. Kali ini tidak. Dan akupun tak mau berpaling. Meski dengan tanpa sepenuh cinta, seorang wanita mencoba mendekatiku dan aku mulai tergoda. Mungkin aku membutuhkannya untuk sekedar melepas dahagaku karena tanpamu. Sungguh aku tak ingin berpaling.
|
Selengkapnya ...
|
Ditulis oleh Ali Rosyad
|
Senin, 25 Januari 2010 22:21 |
Cerpen Ali Rosyad Di sudut ruangan itu Ibrahim terus menorehkan tinta, meramu dan memadukan kata menjadi kalimat yang bernas nan mempesona. Ia menulis cerita tentang negeri yang gemah ripah loh jinawi yang kini sedang dirundung duka nestapa. Negeri mereka terkena bencana yang tak tau kapan berakhirnya. Ibra menceritakan realita hidup masyarakat yang selalu menyandang predikat miskin dan berharap segera akan kaya. Dalam tulisannya penulis tua itu selalu berharap semoga negeri ini segera kembali pada kemakmuran yang selalu dinanti – nanti rakyat. Malam kelam sekelam nasib bangsa ini. Hawa dingin terus menelusup dalam relung-relung tulang belulang, semakin dingin seiring hujan yang mengguyur menyisakan lumpur dan sampah yang mengganggu pemandangan. Malam ini bagai bencana yang tak dapat diduga. Hujan tak mau berhenti membawa limpahan sampah yang masuk rumah-rumah warga. Mereka kalang kabut mengetahui air bah yang datang tanpa terduga sebelumnya. |
Selengkapnya ...
|
Ditulis oleh Fatimah Wahyu Sundari
|
Senin, 25 Januari 2010 22:15 |
Cerpen Fatimah Wahyu Sundari Dimuat : SOLOPOS, Minggu 17 Januari 2010 Aku melangkah ragu. Tanganku memegang pintu gerbang Taman Kota yang warna catnya mulai memudar. Di taman kota ini aku berdiri mematung. Meski disebut taman ini bukanlah taman biasa. Taman yang terletak di sebelah barat terminal bus ini mempunyai arti tersendiri buatku.. Taman ini dibuat khusus oleh ayahku sebagai hadiah ulang tahunku yang ke-7 saat aku masih duduk di bangku SD. Aroma khas taman ini masih kentara. Serasa tenang saat kuhirup aroma wangi melati. Melati merupakan tanaman bunga hias perdu berbatang tegak yang hidup menahun. Karena hidup menahun maka aku bisa menikmatinya setiap saat. Rumput hijau membentang di seluruh penjuru taman. Daun dari pohon akasia yang berwarna coklat berguguran menghiasi rerumputan itu. Aku berjalan menuju ayunan. Kunikmati alam bawah sadarku saat tanganku mulai mengayunkan tempat yang dulu menjadi mainanku. |
Selengkapnya ...
|
Ditulis oleh Eka Bahari
|
Selasa, 01 Desember 2009 22:15 |
Cerpen Eka Bahari
Sudah seperti semacam tradisi, ketika pulang dari Solo, Prasetyo memilih jalan kaki melewati pematang sawah menuju rumahnya. Ia tak mau merepotkan ayahnya untuk menjemputnya di stasiun Jambon, sebuah stasiun kecil di Purwodadi, atau naik ojek lalu harus mengelilingi jalan raya pedesaan.
Kemarau memasuki puncaknya bulan Oktober ini. Sepagi itu Sinar matahari terasa menyengat kulitnya. Inikah dampak dari pemanasan global ?Seingatnya sebelum ia kuliah di Kota Bengawan, suhu udara tak begitu panas. Hampir lima tahun ia meninggalkan kampung halamannya. Selama itu pula ia jarang pulang. |
Selengkapnya ...
|
|
|
|
<< Mulai < Sebelumnya 1 2 Berikutnya > Akhir >>
|
JPAGE_CURRENT_OF_TOTAL |