Cerpen Eka Bahari

Sudah seperti semacam tradisi, ketika pulang dari Solo, Prasetyo memilih jalan kaki melewati pematang sawah menuju rumahnya. Ia tak mau merepotkan ayahnya untuk menjemputnya di stasiun Jambon, sebuah stasiun kecil di Purwodadi, atau naik ojek lalu harus mengelilingi jalan raya pedesaan.

Kemarau memasuki puncaknya bulan Oktober ini. Sepagi itu Sinar matahari terasa menyengat kulitnya. Inikah dampak dari pemanasan global ?Seingatnya sebelum ia kuliah di Kota Bengawan, suhu udara tak begitu panas. Hampir lima tahun ia meninggalkan kampung halamannya. Selama itu pula ia jarang pulang.

Ia mengedarkan pandangan kearah selatan. Tampak bukit Sigit yang beberapa tahun lalu masih menyimpan kekayaan alam berupa kayu jati dan mahoni yang berkualitas tinggi. Sekarang hutan itu gundul, yang tersisa hanya bekas cukuran para blandong atau pembalak liar. Tapi yang ia dengar dari lek Joyo, tetangganya yang sejak krisis moneter terpaksa memilih pekerjaan sebagai pembalak liar, pembalakan besar-besaran justru dilakukan para mandor penjaga hutan. Mungkin karena gaji mereka terlalu kecil atau memang mereka punya bakat seperti kebanyakan pejabat Indonesia : korupsi. Katanya ia bekerjasama dengan para mandor dengan membayar uang setiap pohon yang ditebang. Bahkan ia sering hanya diupah sebagai kuli pikul, lalu balok kayu itu disimpan digudang milik Perhutani.

Melewati pematang sawah, sesuatu yang menyenangkan bagi Pras adalah ketika ia disapa para petani yang kebanyakan memang tetangganya. Mereka kelihatan sibuk dengan pekerjaannya mempersiapkan lahan untuk tanaman palawija. Tentunya dengan berharap hujan segera turun dan kemarau segera berakhir. Ia menyempatkan mampir ke gubug Mbah Hadi, tetangga dekatnya yang sudah menduda hampir 7 tahun. Istrinya meninggal karena sakit .Kata dokter tak ada obatnya. Mungkin karena Mbah Hadi tak bisa membayar administrasi rumah sakit hingga akhirnya istrinya di bawa pulang dan meninggal sehari kemudian.

Gubug sederhana itu dibuat waktu musim tanam padi. Kemarau seperti ini, sawah itu kering kerontang. Tanahnya retak-retak. Tetapi gubug tersebut masih dipertahankan.

“Pripun panenane,mbah.Dapat berapa karung?” Tanya Prasetyo setelah meminum air teh dalam teko, setelah mbah Hadi menawarinya.

“Oalah le, mungkin desa ini sedang dikutuk. Biasanya sawah ini menghasilkan 60 karung, panen kemarin hanya 10 karung.Iku wes Alhamdulillah le,Banyak sawah disini kekeringan dan tanaman padi mati sebelum sempat berbunga.”

“Lho kok bisa gitu mbah, bukankah biasanya panen di desa ini melimpah?”

“Beberapa tahun terakhir ini banyak petani yang gagal panen. Tahu sendiri kan sawah kita ini hanya sawah tadah hujan, lha kalau hujan nggak datang-datang apa yang mau ditadahi ?, seperti sekarang ini sumur-sumur sudah tak ada airnya. Untuk keperluan sehari-hari saja warga harus mengambil air dari mata air Sendang Coyo atau dari sungai Peganjing”.

“Kamu lihat bukit Sigit itu?” . Mbah Hadi menunjuk arah selatan. Tangannya mengibaskan caping untuk mengumpulkan angin.” Kata pak lurah bukit itu mau dikepras untuk dijadikan semen. Padahal bukit padas sudah dikepras untuk meninggikan rel di sepanjang stasiun Jambon.Sekarang giliran bukit itu. Setelah kayunya habis dijarah kini giliran tanahnya juga mau dijarah.”

“Wah itu tak bisa dibiarkan mbah”

“Kita ini wong cilik. opotho le yang bias kita perbuat. Desa kita ini dikutuk gusti Alloh. Hutan habis dibabat hingga hujan turun terlambat. Ah, mungkin benar kata orang-orang hujan nggak turun-turun karena ada perawan meteng di desa ini”

“Perawan hamil ? Siapa mbah?”

Mbah Hadi tergagap, seakan ada suatu hal yang tak seharusnya ia bicarakan.

“Nanti kamu tau sendiri”

Usai dari gubug mbah Hadi, Pras melanjutkan perjalanannya. Tadinya ia ingin melewati jalan raya yang menembus area persawahan.Tapi sekali lagi ia memilih melewati pematang sawah lek Sastro yang langsung menuju belakang rumahnya. Sesampainya di rumah ia menanyakan kebenaran cerita Mbah Hadi kepada ayahnya.

“Pak kadus sudah memberitahu warga yang tanahnya kena proyek akan diberi ganti rugi”

“Bapak setuju?”

“Tadinya semua warga tak setuju.Termasuk bapak.”

“Katanya ada perawan yang hamil,Siapa Pak?”

“Oh ya Pras, bapak mau keluar, ada Tahlilan di rumah Pak Mahmud”

Pras tak terlalu memikirkan jawaban atas pertanyaannya.Yang ia pikirkan adalah bagaimana menyusun rencana untuk mempertahankan hak –hak warga.. Kawasan bukit Sigit berdekatan dengan kawasan hutan lindung dekat mata air Sendang Coyo. Kawasan itu sering digunakan perkemahan Jambore tingkat kecamatan Pulokulon, Bahkan sering juga untuk tingkat kabupaten Grobogan.Dan dari sendang coyo itu banyak warga yang memanfatkan airnya setelah sumur-sumur mengering.Tepat di bawah bukit terdapat gua kecil yang konon dibuat warga sekitar sewaktu penjajahan Belanda dulu. Di atas bukit terdapat tanah lapang yang menurut cerita-cerita dari orang tua merupakan bekas Masjid Agung Demak dan cerita ini ada kaitannya dengan sendang coyo.

Menurut legenda, Sunan kalijaga mendapat tugas dari Raden Patah, Raja dari kerajaan Islam Demak, untuk mencari lokasi pembangunan masjid.Beliau berjalan menyusuri pelosok tanah Jawa. Di tengah perjalanan ia kebingungan mencari air untuk berwudhu. Ia menancapkan tongkatnya dan keluarlah air dari bekas tancapan tongkat Sunan. Kemudian salah satu muridnya ditugasi untuk menjaga mata air tersebut sekaligus untuk menyebarkan agama Islam. Air yang keluar begitu deras sehingga membentuk semacam sendang. Tapi naas suatu ketika Murid Sunan Kalijaga tenggelam di sendang itu. Menurut cerita jasadnya terdampar di pinggir sendang karena bantuan ikan gabus. Itulah mengapa kemudian ia disebut Mbah Gabus. Atas kesepakatan penduduk setempat jasad Mbah Gabus disemayamkan di sebelah tenggara sendang coyo dan dibuatkan cungkup. Hingga saat ini makam tersebut masih sering diziarahi orang dan sendang coyo selama ini digunakan rekreasi padusan.

Sunan Kalijaga melanjutkan perjalanannya dan menemukan suasana pegunungan yang dirasanya cocok untuk didirikan masjid Agung. Saat ia hendak melaksanakan Sholat Malam ia mendengar penduduk kotekan lesung menumbuk padi. Sunan merasa tempat tersebut tidak nyaman untuk beribadah karena hari masih semalam itu warga sudah memikirkan isi perut.Ia berkata pada salah satu muridnya di desa ini nantinya ada perawan tua yang tak pernah menikah. Ada juga yang mengatakan sabda sunan bukan tentang perawan tua tetapi perawan yang hamil di luar nikah.Warga menjadi lebih yakin terhadap cerita tersebut, setelah menjelang bulan puasa tahun lalu,warga dikejutkan penemuan makam di atas bukit sigit.yang diyakini sebagai salah satu murid Sunan Kalijaga.

***

Perdebatan sengit terjadi ketika rapat yang diadakan di Balai Desa baru berjalan setengah jam. Ini kali pertama rapat digelar untuk membahas pembangunan pabrik semen di bukit sigit. Prasetyo sebenarnya tidak mendapat undangan tetapi ayahnya menyuruhnya untuk mewakili.Di awal sambutannya Pak Karmin, Kepala Desa mengatakan bahwa proyek tersebut bertujuan untuk mensejahterakan perekonomian warga sekitar. Jika proyek berjalan maka sudah tentu akan menyerap tenaga kerja dari warga sekitar. Sehingga para pemuda tak perlu lagi pergi ke kota, karena selama ini banyak pemuda yang bekerja sebagai kuli bangunan, kuli pabrik di kota – kota besar. Kecuali itu pendapatan daerah tentunya juga akan meningkat.

Pak Maryadi, yang Kepala Perhutani itu berkata cukup lantang.”Saya tetap tidak setuju dengan rencana tersebut. Coba kita pikir dampak setelah bukit sigit dijadikan proyek. Saya tahu persis nantinya seperti apa. Apalagi jarak sigit dengan pemukiman terlalu dekat. Saya khawatir nantinya terjadi longsor”.

Pak Warsito, kepala proyek angkat bicara.” Warga tak usah khawatir karena nantinya akan mendapat ganti rugi. Kalau takut terjadi longsor kami bisa mengusahakan transmigrasi bedol desa ke Kalimantan.

Prasetyo tunjuk jari. Ada sesuatu yang ingin ia ungkapan.“Saya rasa proyek ini perlu dikaji ulang. Saya tak tahu apakah analisis mengenai dampak lingkungan sudah digodok secara matang atau belum ? Sekedar menambahkan jika seandainya bukit sigit dikepras hampir bisa dipastikan kekayaan hutan kita hanya akan menjadi cerita bagi anak cucu kita. Jika kita amati di area bukit Sigit terdapat potensi wisata alam dan Wisata religi sekaligus.Kita tahu tepat dibawah bukit terdapat Gua peninggalan penjajahan Belanda dan di atas bukit ditemukannya makan Murid Sunan Kalijaga.Bukankah sejak ditemukan makam itu ratusan muslim berziarah dimakam tersebut. Ditambah Sendang coyo dengan Makam Mbah Gabus yang selama ini juga sering dikunjungi orang. Itu semua merupakan aset dari desa kita untuk menjadi desa wisata. Alangkah baiknya pemerintah mendukung usaha perhutani dalam mereboisasi hutan.

Prasetyo memandang sekilas ke arah pejabat pemerintah. “Kita sudah bisa merasakan dampak akibat pembalakan liar oleh sekelompok orang. Saat musim hujan sawah-sawah kebanjiran karena pohon jati yang biasanya bisa menyerap air sudah menjadi bangunan rumah, mebel mewah yang sudah diimpor sampai luar negeri. Sedang saat kemarau seperti ini suhu udara semakin panas dari tahun ke tahun. Hujan pun tak kunjung turun”

Pak Sutris, salah satu blandong tersinggung.”Kalau hujan tidak turun-turun itu bukan akibat hutan yang gundul mas Pras. Itu tak lain karena ada perawan meteng di desa kita. Itu Si Anik ”

Prasetyo kaget mendengar pak Sutris menyebut Nama Anik. Apakah perempuan yang hamil diluar nikah itu adalah Anik.gadis yang selama ini menjadi kekasihnya.Tapi di desa ini banyak gadis yang bernama Anik.

Pak Sutris melirik kearah Pras.”Seluruh warga desa menanggung malu karena hal ini. Anik harus diusir dari kampung ini atau ia harus diruwat dengan cara…”

“He Mas Sutris kita kesini bukan untuk ngrembuk masalah itu” Mbah Hadi menyela, Kalau masalah Anik bisa dibahas lain waktu” .

Kemudian waktu diberikan kepada Pak Baskoro,yang mewakili pemerintah kabupaten.

“Baiklah, kami selaku pemerintah pusat akan meninjau kembali wacana proyek pembuatan semen. Perlu digarisbawahi.kemungkinan besar wacana proyek pembangunan pabrik semen di sekitar bukit Sigit akan dibatalkan ”

Setelah rapat ditutup warga berhamburan keluar. Bagi pras rapat selesai dengan hasil yang memuaskan. Banyak warga yang menyalaminya dan mengucapkan selamat atas kepintaran dan keberanian Pras dalam rapat tersebut. Bahkan Mbah Hadi menyebutnya sebagai “pahlawan desa”.


*****

Pertanyaan itu terjawab sudah. Langit seakan runtuh setelah Pras mendengar apa yang dikatakan Lek Sutris.Anik Setyaningrum, nama lengkapnya. Pras berjanji akan melamarnya kalau ia sudah selesai kuliah. Kata Lek Sutris Anik diperkosa dan ia tak pernah berterus terang tentang siapa lelaki yang menghamilinya. Bahkan Lek Sutris menyarankan Pras untuk meninggalkan kampung karena selama ini warga banyak yang mencurigai Pras-lah yang menghamili Anik. Malam itu dengan sisa –sisa kekuatannya. Pras menemui Anik.

“Pras aku ikut kamu ke Solo.”

“Untuk apa?”

“Aku ingin menggugurkan bayi ini”

“Kowe edan po, lelaki itu harus menikahimu. Kamu tinggal bilang siapa, aku yang akan menyuruhnya bertanggung jawab”

“Apa kamu ingin aku menderita seumur hidup. Kamu pikir dengan menjadi istrinya aku akan terbebas dari penderitaan ini. Tidak. Aku tak menghendaki bayi ini”

“Lalu apa kata orang-orang nanti. Kamu harus menikah dengannya”

Tak lama kemudian lampu dirumah itu padam disertai suara keras dari luar yang menyuruh Anik beserta semua keluarga keluar.

“Anik keluar dan tanggalkan semua pakaianmu”perintah Mbah Slamet, dukun yang didatangkan lek Sutris. Mbah Slamet membawa sebuah wadah berisi kemenyan yang sudah dibakar. Asap beterbangan tak tentu arah, seperti perasaan Pras.

Pras mendekati lek Sutris. “Lek Sutris, ono opo iki?”

“Maaf Pras ini sudah keputusan warga.Kami ingin meruwat Anik dengan persyaratan semua lampu di desa ini tidak boleh ada yang menyala kemudian mereka ikut berjalan kaki mengitari desa ini dengan telanjang sebanyak 3 kali putaran.”

“,Kesesatan apalagi ini mbah?”

Pras tak bisa membayangkan jika semua warga telanjang lalu menggiring Anik layaknya binatang. Tapi anehnya mereka semua mengikuti perkataan Mbah Slamet.

Pras hanya tak bisa berbuat apa-apa ketika Anik diseret mbah dukun lalu pakaiannya ditanggalkan satu persatu. Hati Pras terkoyak melihat Anik yang tidak berdaya.. Para Tokoh agama setempat tak bisa mencegah perbuatan tersebut karena hal itu sudah disetujui Pak Lurah. Anik menyerah pasrah. Ia tak meronta atau menangis.

Angin bertiup kencang mengumpulkan awan. Tampak kilatan petir menggeliat.Mbah dukun tersenyum, merasa dialah yang menang. Ia masih membakar kemenyan dengan mulut yang tak henti-hentinya mengucapkan mantra. Gerimis mulai turun lalu disusul hujan lebat. Rombongan tertawa bahagia. Hujan yang dinanti-nanti telah mengguyur dan itu berarti masa paceklik segera berakhir. Entah mantra Mbah Dukun dan kemenyannya yang membuat hujan turun atau doa Pras dan para tokoh agama beserta warga yang tersisa yang melakukan isthighosah di Masjid Al Isro.

Angin bertiup kencang dan hujanpun semakin deras. Pras mengapit lengan Anik, dalam cahaya kilatan petir ia memandang wajah Anik yang masih sempat tersenyum pada Pras.Sesampainya di sendang, Anik diceburkan dengan kasar. Pras ikut tercebur karena ia tak melepaskan pegangannya dari tangan Anik. Kedalaman air mencapai leher Pras, itu berarti bisa menenggelamkan Anik. Karena tinggi Anik hanya sebahu Pras. Sejam kemudian Pras kehilangan tangan Anik. Ia berenang tak tentu arah, menoleh kanan kiri dalam keremangan.

“Anik ngambang, Anik, Anik..mati “teriak salah seorang warga.

Pras membisu. Ia tak menangis ataupun sedih. Tangis baginya hanya sebuah kebodohan dan sedih hanyalah suatu kesalahan. Ia hanya merasa menyesal. Sesal yang tak bisa ia ucapkan.Tepat di makam mbah Gabus. Mbah Hadi menyerahkan segepok uang kepada lek Sutris.

“Jangan lupa pak lurah dan mbah slamet dikasih bagian”ucapnya pelan.


*-*-*

Eka Bahari, Lahir 13 Juli di Grobogan. Mahasiswa UNU Surakarta ini aktif di Komunitas Thariqat Sastra Sapu Jagad. Email : Alamat e-mail ini diproteksi dari spabot, silahkan aktifkan Javascript untuk melihatnya .