Cerpen Ali Rosyad

Di sudut ruangan itu Ibrahim terus menorehkan tinta, meramu dan memadukan kata menjadi kalimat yang bernas nan mempesona. Ia menulis cerita tentang negeri yang gemah ripah loh jinawi yang kini sedang dirundung duka nestapa. Negeri mereka terkena bencana yang tak tau kapan berakhirnya. Ibra menceritakan realita hidup masyarakat yang selalu menyandang predikat miskin dan berharap segera akan kaya. Dalam tulisannya penulis tua itu selalu berharap semoga negeri ini segera kembali pada kemakmuran yang selalu dinanti – nanti rakyat.

Malam kelam sekelam nasib bangsa ini. Hawa dingin terus menelusup dalam relung-relung tulang belulang, semakin dingin seiring hujan yang mengguyur menyisakan lumpur dan sampah yang mengganggu pemandangan. Malam ini bagai bencana yang tak dapat diduga. Hujan tak mau berhenti membawa limpahan sampah yang masuk rumah-rumah warga. Mereka kalang kabut mengetahui air bah yang datang tanpa terduga sebelumnya.

Ibrahim adalah penulis yang terkenal kebenaniannya menyampaikan aspirasi masyarakat lewat tulisan kepada pemerintah yang mengagungkan kekayaan. Menurut Ibra pemerintah selalu menggembar – gemborkan kesejahteraan rakyat, penambahan lapangan pekerjaan dan anti korupsi. Tapi semua tidak ada realisasinya. Lidah tak bertulang. Kaum-kaum pejabat sendirilah yang hidup sejahtera, mendapat pekerjaan enak lau dia sendirilah yang korupsi. Uang-uang rakyat diakuinya untuk memperkaya diri sendiri., Mempercantik kelas di masyarakat dengan membeli barang – barang mewah yang mereka sukai. Tak ada barang yang dia miliki dari toko tradisional. Mereka hanya membeli barang-barang yang berkelas supermarket hingga sampai ke luar negeri yang bernilai jutaan rupiah.

Tulisan-tulisan tentang kebobrokan pemerintah itulah yang sering Ibrahim tulis. Entah berupa opini, essay dalam surat kabar atau juga cerpen. Pernah suatu kali Pak Ibrahim masuk bui, karna dia mengecam dan mengejek pemerintahan kota.. Ibrahim mengatakan bahwa pemerintah tidak becus mengurusi kota ini. Mereka hanya memikirkan perut mereka sendiri hingga membuncit. Mereka tak memikirkan nasib perut-perut rakyat yang setiap hari hatinya menangis karna tak ada bahan untuk mereka masak.

Keadaan itupun terus berulang, berkali-kali Pak Ibrahim keluar masuk penjara karena tulisannya yang mengkritik sang penguasa yang mengadili rakyat dengan semena – mena. Hingga akhirnya Undang – Undang .Ibrahim senang. Ia merasa leluasa menulis sesuai hatinya tanpa ada batasan yang membelenggu pikirannya. Yang ada hanya kebebasan untuk berkreasi dan memberikan sesuatu yang layak untuk masyarakat. Hanya dengan tulisan rakyat dapat mengetahui kelakuan para pemimpinnya. Buku karya Ibrahim akhirnya dicetak dan diterbitkan sebuah penerbit Jakarta.

****
“Hai sobat mengapa kau masih menulis dan berkarya hanya dengan pena? padahal sekarang sudah musimnya pakai mesin ketik semua sudah menggunakanya, aku pun juga sudah menggunakanya walaupun agak berisik saat menggunakannya, dengan ini kita dapat lebih cepat dan mudah serta hasilnyapun lebih rapi daripada dengan tulisan tangan” Ujar Sofwan yang biasa dipanggil wawan, kawan lama Ibrahim.yang baru datang dari Surabaya.

“Betul katamu itu wan ? Sudah berapa banyak karya yang telah kau buat, Wan ?” tanya Ibra.
“Aku sudah banyak melahirkan banyak tulisan dari mesin ketik yang kumiliki. Hampir tiap hari tulisanku termuat Koran. Kadang 3 essai sekaligus dalam Koran yang berbeda.”
“Boleh aku pinjam. Sekitar 3 bulanlah?”
“Ambil saja” Sofwan yang ternyata membawa mebawa mesin ketik memberi secara gratis.“Anggap ini sedekah, ha..ha.” Ucapnya berkelakar

Tiga bulan berlalu Sofwan kembali berkunjung kembali. dia menanyakan mesin ketiknya dan sudah berapa buah karya yang telah di buat Ibrahim dari mesin ketiknya.
“Bagaimana? Sudah berapa cerpen dan puisi yang telah kau buat? Lebih efisien kan dengan mesin ketik ini”
“Betul katamu wan, sudah banyak karyaku yang sudah terbit di media cetak daerah. Honornya bisalah untuk beli mesin ketik sendiri. Silakan bawa kembali barang sedekahmu..He..he.”
“Aku sudah bilang itu untukmu. Aku juga sudah punya komputer sebagai ganti mesin ketikku. Alat ini malah lebih canggih dari mesin ketik manual itu. Aku bisa mengedit tanpa harus mengulang mengetiknya dalam kertas yang baru, tinggal membuka filenya langsung dapat di edit.”
“Ah, aku akan terus berkarya dan menabung untuk membeli komputer sepertimu.”
“Tapi menulislah dengan hati. Pertahankan sikap kritismu itu, Ibrahim”

Lama Sofwan tak berkunjung ke rumah Ibrahim. Suatu sore Sofwan berkunjung kembali ke rumah Ibrahim. Dia membuka tas yang dia bawa lalu memamerkan laptop yaang baru saja dia beli di pameran elektronik.
“Aku beli laptop. Masak kita kalah dengan Tukul yang katrok itu..Ha..ha.. Sekarang ini zaman sudah semakin canggih pak. Dengan jaringan internet kamu bisa mencari bahan-bahan tulisan dan juga bisa Facebook-an, bertemu kawan lama dan cari kawan baru”
“Aku pasti akan punya laptop seperti itu” Ucap Ibra.

Tak harus menunggu lama, belum sampai setahun Ibrahim dapat membeli laptop. Ia juga memasang modem internet sehingga mudah mengakses informasi untuk bahan tulisannya. Kadang ia juga membawanya ke area hotspot. Segera ia mendaftarkan dalam icon facebook. Dicari semua kawan lama dan juga beberapa penerbit.

Tiba-tiba saja Ibrahim menjadi orang lain. Ia tidak sekritis tulisannya dulu sebelum ia mengenal internet. Lewat facebook temen-temennya mempengaruhinya untuk tidak menulis sesuatu yang tidak mendukung pemerintah. Tak ada gunanya katanya. Beberapa penerbit juga memesan dibuatkan beberapa judul buku yang sudah ditentukan arah tulisannya. Rupanya dunia luar telah membelenggu ide pemikiran Ibrahim.

****
Ali Rosyad , Tinggal di Jl. KH.Samanhudi, 64, Mangkuyudan, Solo. Santri di Pesantren Al Muayyad dan siswa SMA Al Muayyad. Aktif di komunitas Thariqat Sastra Sapu Jagad.