Cerpen Ali Rosyad
 
Mukena  yang kujanjikan pada emakku tak dapat aku beriakan kali ini. Waktu seakan mempermainkanku. Kegamangan membujukku. Aku teringat ibuku  di kampung yang mungkin menanti kedatanganku di hari lebaran tahun ini. Apakah kerut diwajahnya menandakan kekecewaannya kepadaku?.
Kehidupan  keras ibu kota menjeratku, memerosokkan ku dalam lubang hitam. Tak ada orang yang dapat menolongku.  Aku sendiri yang berusaha untuk lepas dari belenggu ini. Iming – iming kehidupan yang layak dengan bekerja di kota membuat aku ingin merantau meninggalkan kampungku
“Aku arep menyang Jakarta  mak, aku kepingin kerjo ning kono”
“Lha kowe karo sopo ronone le?”
“Dengan Karno anaknya Lek Suti. Dia sudah jadi orang sukses sekarang”.
“Ojo le., nanti siapa yang akan membantuku mengerjakan sawah peninggalan bapakmu?”
“ Pokoknya aku ingin bekerja di Jakarta. Aku ingin seperti Karno yang bisa memperbaiki rumah. Membuat emak bahagia. .  Aku ingin kaya mak, ora koyo ngene iki, kere terus, sengsoro terus”
***
Asap kota jakarta menjejalkan nafas yang terus menyedak dalam ulu hati.  Paru – paru kota seakan sebagai hiasan belaka, tanpa ada guna. Perkampungan kumuh, asap pabrik membumbung tinggi mengeluarkan bau tak sedap.
 Megah benar gedung itu, menjulang mencakar langit biru, melawan tinggi langit yang tak berbatas. Megah  pikir manusia dengan  mencipta ribuan gedung yang hanya menyesakkan kota. Tanpa terpikirkan  keberadaan orang pinggiran yang selalu tersingkir atau justru  disingkirkan?.
Terhenyak mataku melihat tempat tinggal Karno selama ini. Tak seperti rumah yang dibangunnya untuk orang tuanya di desa. Di desa rumah magrong – magrong lengkap dengan tv, kulkas dan peralatan elektronik lainnya. Tapi yang ku lihat sekarang tak seindah rumah yang kubayangkan saat memutuskan ikut dengan Karno ke kota ini. Ia hanya tinggal di rumah kecil beratap seng dengan dinding kardus mie instant. Begitu sempit tak lebih lebar dari pekarangannya di kampung. Lebih mirip lagi seperti kandang kambing kepunyaannya di rumah.
Gitar tua teronggok di sudut ruangan. Tampak lusuh dengan berbagai stiker yang tertempel. Dawainyapun tak selengkap gitar pada umumnya. Gitar itulah barang yang ku lihat pertama saat masuk dalam rumah kardusnya.
“Mas Karno,  ini tempat siapa?”
“Ya inilah tempatku selama di kota, Mo” Jawab Karno tanpa memandang sedikitpun padaku
“Jadi selama ini kamu telah berbohong pada keluargamu?.” Aku masih tak percaya dengan tempat tinggal Karno ini.
“Bohong? Tomo, Tomo . aku tak pernah bohong kepada siapapun” 
“Katanya kau di kota menjadi seorang pengusaha”
“ Ya inilah usahaku.  Aku adalah pengusaha .Aku menjadi loper koran di perempatan lampu merah sana. Dengan itu aku dapat mengumpulkan uang untuk ku kirimkan ke kampung”. 
***
Inilah awal petualanganku bercengkerama dengan kehidupan kota. Dengan gitar tua milik Karno, aku mengamen ke sudut kota, perempatan bangjo dan bis kota. Aku menolak tawaran Karno untuk menjadi loper koran. Aku tak sanggup bertampang iba, memohon setiap pengendara mobil membeli koranku. Dengan mengamen, entah suka atau tidak, orang akan merogok sakunya. Meski hanya uang receh. 
Seperti Karno aku membohongi ibuku.  Aku mengatakan kalau di Jakarta aku menjadi karyawannya Karno. Aku tak peduli dengan apa aku mengumpulkan uang. Yang jelas aku bisa menyisihkan uang yang bisa kukirimkan untuk emakku. 
Rintih kesedihan akan kebohonganku terwakilkan dengan alunan melodi yang mengalun dari mulutku di perempatan bangjo. 
“Sungguh terpaksa aku menyanyi mengharapkan tuan bermurah hati..”
Sebuah nyanyian dari Rhoma Irama yang sering menjadi lagu wajibku bergetar lewat mulutku..
Para pengendara melempar beberapa keping uang receh yang kukumpulkan dalam gelas plastik bekas air mineral. Dalam sehari aku biasa mengumpulkan uang sekitar 30 ribu. Dengan uang sampai kapan aku bisa bertahan di kota ini?,
Lebaran sebentar lagi tiba. Rinduku dengan kehidupan  di desa mengusikku. Aku semakin rindu kepada ibuku. Aku ingin pulang. Kepergian seorang perantau akan terbayarkan jika ia kembali ke kampungnya. Itu sebagai rasa hormat pada keluarga yang telah ditinggalkan beberapa tahun. Aku ingin meminta maaf atas kesalahan yang telah aku perbuat pada emakku.  Aku berkata pada emakku kalau aku akan jadi pengusaha di kota, tapi apa yang kulakukan hanyalah sebuah kebohongan. 
Aku akan pulang lebaran kali ini. Aku harus pulang tahu ini, memberikan mukena untuk emakku. Aku ingat mukena ibuku warnanya tak lagi putih. Warnanya memudar. Seperti jati diriku yang kini telah menjadi buram. Aku juga ingin membawa oleh-oleh sirup botol dan roti kaleng mahal yang sering kulihat iklannya di televisi. Tentu agar aku kelihatan benar-benar sukses, akan aku kasih keponakan-keponakanku yang masih kecil dan anak-anak tetangga dengan beberapa lembar uang ribuan. Dari mana aku harus memenuhi semua itu? 
Cahaya rembulan jingga menerobos malam lalu bergelayut di ranting pohon cemara. Malam ini aku tak ingin menyanyikan sebuah lagu. Biar saja gitarku bisu dengan melodinya. Nyanyian hanya sebuah pelarian dari kenyataan. Dan tempat pelarian itu kini tak mampu lagi menyembunyikan kegetiranku.
Seorang perempuan usia 20-an berjalan sendiri di pinggir taman kota. Sekretariskah? Wanita malam atau istri simpanan pejabat?, tak ada urusan. Yang jelas tas yang ditentengnya ada rupiah atau barang yang bisa dijual.
Meski tak pernah melakukan hal ini sebelumnya tanganku sukses mennjambret tas perempuan itu. Tubuhku seakan ada yang menggerakkan. Tangankuku menyambar tas wanita itu. Dengan berlari kencang aku menjauh tanpa menoleh kembali ke belakang. Tapi teriakan wanita itu menggegerkan warga yang segera berhambur memotong jalanku. Aku menjadi korban amukan massa. Tak terhitung lagi berapa kali mereka memukul kepalaku, menginjak-injak tubuhku. Untung saja mereka tak menyiram bensin ke tubuhku lalu membakarnya seperti yang pernah kubaca dalam berita kriminal.
Tak dapat kuraih kembali keinginan untuk pulang kekampung halaman. Jalan yang salah yang terlanjur kupilih kini mengantarkanku ke sel tahanan. Memberi khayal indah tentang kampung halaman, meninggalkan sesobek luka dan harapan semu yang kubuat dari kebohongan.
*****
 
Ali Rosyad, lahir 14 Februari 1993 di kota “gersang” Grobogan. Pemuda yang baru genap 17 tahun ini selama 5 tahun lebih rela meninggalkan kampung halamannya untuk mengenyam bangku pendidikan SMP & SMA di kota Surakarta, tepatnya sekarang di kelas XII IPA SMA Al Muayad dalam lingkup Pondok Pesantren. Cerpen-cerpennya terpublikasikan di Solopos juga Pawon Sastra. Awal kegemaran menulisnya karena hobinya membaca meski hanya buku pinjaman dari teman. Motivasi menulisnya terpompa ketika cerpen yang ditulis untuk kali pertama berhasil termuat dalam media massa. Kini mengasah kegiatan bersastranya dengan bergabung di komunitas Thariqat Sastra Sapu Jagad. Alamat rumah : Jl Letjend Soeprapto 84 Godong Grobogan